Penulis: Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi (Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZ Peduli Dakwah)
Pengeluaran Zakat
Ada beberapa pembahasan yang perlu diketahui mengenai pengeluaran zakat.
zakat wajib dikeluarkan secepat mungkin
Zakat wajib dikeluarkan secepat mungkin tatkala seseorang memiliki kemampuan. Hal tersebut karena asal perintah dalam syariat adalah untuk segera ditunaikan berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” [Âli ‘Imrân: 133]
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى juga berfirman,
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ
“Maka berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebajikan.” [Al-Mâ`idah: 48]
Dalil-dalil yang semakna dengan dua ayat di atas sangatlah banyak dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ
Karena itu, tidak boleh seorang mengundur penyaluran zakat -setelah tetap kewajiban zakat terhadapnya-, sedang dia mampu dan ada kelapangan untuk segera menunaikannya. Pengunduran penyaluran zakat memberikan berbagai kerugian bagi orang-orang yang berhak menerima dan juga kerugian terhadap pemilik harta.
Tiga Kondisi Bolehnya Mengakhirkan Pengeluaran Zakat
Namun, diperbolehkan oleh para ulama membolehkan untuk mengakhirkan pengeluaran zakat pada tiga kondisi:
1. Ada udzur
2. Adanya bahaya yang mungkin timbul bila zakat dikeluarkan.
Seperti seorang yang tinggal di antara para pencuri dan perampok. Jika dia mengeluarkan zakatnya, orang-orang akan menganggapnya memiliki banyak harta sehingga para pencuri dan perampok akan mendatangi rumahnya.
3. Adanya hajat atau maslahat bila pengeluaran zakat diundur.
Seperti seorang yang terkena kewajiban zakat pada musim tertentu, yang pada musim itu banyak zakat yang dikeluarkan dan memenuhi kecukupan para mustahiq. Pada musim lain, ada waktu tertentu para mustahiq sangat membutuhkan zakat. Pada kondisi ini, boleh mengakhirkan pengeluaran zakat di musim yang dipandang lebih banyak mashlahatnya.
Ibadah zakat disyaratkan padanya keikhlasan niat dan mencocoki petunjuk Nabi ` sebagaimana disyaratkan pada ibadah-ibadah yang lainnya.
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, serta agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa-apa yang dia niatkan.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan, dalam perkara (agama) kami, apa-apa yang bukan dari (agama tersebut), (perkara) itu tertolak.”
Niat yang benar pada penyaluran zakat adalah dia meniat perbuatannya hanya untuk Allah dan meniatkan zakat yang dia keluarkan untuk mengangkat kewajibannya.
Niat ini disyaratkan pada orang yang mengeluarkan zakatnya secara langsung. Demikian pula pada wali atau wakil dari orang yang menyalurkan zakat, disyaratkan mereka meniatkan harta yang mereka keluarkan untuk siapa yang mengamanahkan kepada mereka.
Adapun terhadap orang yang menahan zakatnya, kemudian pemerintah mengambilnya secara paksa, zakat itu sah baginya secara zhahir. Adapun secara batin tidak sah baginya karena tidak ada niat. Kecuali, bila seseorang dipaksa oleh pemerintah untuk mengeluarkannya kemudian dia rela untuk mengeluarkannya, hal tersebut sah baginya secara zhahir dan batin. Wallâhu A’lam.
Asal penyerahan dan pembagian zakat adalah kepada pemerintah.
Hal tersebut adalah kesepakatan para ulama dan disebutkan dalam pokok keyakinan Ahlus Sunnah dalam sejumlah buku aqidah, karena perintah pemungutan zakat ditujukan kepada Rasulullah n yang merupakan kepala negara kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,
Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [At-Taubah: 103]
Nabi ﷺ berpesan kepada duta beliau, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu yang diutus ke Yaman,
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
“… Bila mereka telah menaatimu dalam hal tersebut, terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka ….”
Karena itu, tatkala pemerintah meminta agar zakat diberikan kepada mereka, zakat harus diserahkan kepada mereka. Bila zakat telah diserahkan kepada pemerintah, mereka yang bertanggung jawab dalam penyerahannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dan telah gugur kewajiban atas pemilik harta dengan zakat yang dia berikan kepada pemerintah.
BACA JUGA: Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Menyerahkan zakat secara langsung kepada orang yang memerlukan merupakan hal yang lebih afdhal.
Apabila pemerintah tidak mengharuskan penyaluran zakat melalui mereka, sangat dianjurkan kepada pemilik harta untuk mengeluarkan zakatnya secara langsung. Hal tersebut berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan keutumaan orang yang memberi dengan tangannya sendiri. Selain itu, seorang yang langsung mengeluarkan zakatnya dapat memastikan kelayakan penerima zakat dan merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab secara meyakinkan. Juga bagi orang yang masyhur atau terpandang, penyerahan zakat secara langsung oleh mereka akan menghilangkan kesan yang kurang baik di mata manusia. Wallahu A’lam.
Beberapa hal seputar petugas pemungut zakat
Dalam hadits Jarir bin Abdillah Al-Bajaly رضي الله عنهما, beliau berkata,
جَاءَ نَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ` فَقَالُوا إِنَّ نَاسًا مِنَ الْمُصَدِّقِينَ يَأْتُونَنَا فَيَظْلِمُونَنَا. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ` « ارْضُوا مُصَدِّقِيكُمْ ». قَالَ جَرِيرٌ مَا صَدَرَ عَنِّى مُصَدِّقٌ مُنْذُ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ` إِلاَّ وَهُوَ عَنِّى رَاضٍ
“Datang sekelompok A’raby kepada Rasulullah ` lalu mereka berkata, ‘Sekelompok dari petugas-petugas pemungut zakat mendatangi kami dan menzhalimi kami.’ Rasulullah ` bersabda, ‘Jadikan petugas-petugas pemungut zakat ridha terhadap kalian.’ Jarîr berkata, ‘Setelah mendengar hal tersebut dari Rasulullah `, tidak seorang petugas pun yang pergi dariku kecuali dia dalam keadaan ridha terhadapku.’.”
Hadits di atas menunjukkan,
- Dibolehkan untuk penguasa mengangkat petugas-petugas yang memungut dan menagih zakat dari para pemilik harta yang terkena kewajiban zakat.
- Pemilik harta harus mengeluarkan zakat sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh para petugas pemungut zakat, walaupun mereka kadang berlaku zhalim.
Ketentuan tentang nilai harta zakat yang dipungut
Ada dua hal yang harus diperhatikan pada harta zakat yang dikeluarkan.
Pertama, harta tersebut bukanlah harta yang jelek sebagaimana dalam firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu menafkahkan sebagian dari (yang buruk-buruk) itu, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [Al-Baqarah: 267]
Kedua, tidak mengambil harta mereka yang paling berharga dan sangat mereka sayangi sebagaimana pesan Nabi `,
فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“… Dan berhati-hatilah terhadap harta yang mereka sayangi, dan berhati-hatilah dari doa orang yang dizhalimi karena tidak ada perantara antaranya dengan Allah.”
Ada keluasan dalam tempat pemungutan zakat
Rasulullah ﷺ bersabda,
تُؤْخَذُ صَدَقَاتُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مِيَاهِهِمْ
“Zakat-zakat kaum muslimin diambil pada air-air mereka[1].”
Dalam riwayat lain, Nabi ﷺ bersabda,
لاَ جَلَبَ وَلاَ جَنَبَ وَلاَ تُؤْخَذُ صَدَقَاتُهُمْ إِلاَّ فِى دُورِهِمْ
“Tidak ada jalab[2] dan tidak ada janab[3], dan tidaklah zakat diambil kecuali di rumah-rumah mereka.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa para petugas yang memungut zakat boleh mengambil zakat di tempat mana saja, baik itu di rumah pemilik harta, di tempat hewan ternak mereka meminum air dan semisalnya sehingga memudahkan pemilik harta dalam tempat pengambilan zakat. Juga para petugas memungut zakat secara langsung kepada pemilik tanpa ada keharusan terhadap sang pemilik untuk membawa zakatnya kepada petugas. Wallahu A’lam.
Tentang penyaluran zakat ke negeri lain.
Asal dalam penyaluran zakat adalah pada negeri atau daerah orang yang mengeluarkan zakat. Hal ini berdasarkan hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu,
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
“… Bila mereka telah menaatimu dalam hal tersebut, terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka ….”
Yaitu zakat diambil dari orang-orang kaya yang berada di negeri itu dan diserahkan pula kepada orang-orang fakir di negeri itu.
Namun, para ulama membolehkan penyaluran zakat di negeri lain bila mengandung maslahat dan manfaat yang lebih besar.
Tentang penyerahan zakat secara rahasia atau terang-terangan?
Hal yang terafdhal dalam penyerahan zakat adalah secara rahasia. Hal tersebut karena sejumlah dalil yang menunjukkan keutamaan orang yang merahasiakan shadaqahnya. Namun, pada saat ada suatu mashlahat atau hal yang penting, secara terang-terangan adalah hal yang baik guna memberikan kesan yang baik terhadap manusia, atau menghindarkan sangkaan buruk terhadapnya.
Haruskah orang yang menerima zakat mengetahui bahwa harta yang dia terima adalah dari zakat?
Dalam hal ini para ulama memberikan rincian,
Pertama, apabila seseorang telah dikenal secara umum sebagai penerima zakat, pemberi zakat tidak perlu memberitahu.
Kedua, jika seseorang tidak dikenal atau diragukan sebagai penerima zakat, atau dikenal orang yang enggan menerima zakat, pemberi zakat perlu menyampaikan perihal harta yang dia serahkan.
Boleh seorang mendahulukan membayar zakatnya bila sebab kewajiban telah terpenuhi, yaitu dengan memiliki nishab
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seorang yang memiliki beberapa toko berisi barang-barang untuk diperdagangkan, barang-barang tersebut telah mencapai nishab zakat perdagangan.
Dalam keadaan di atas, seorang boleh mengeluarkan zakatnya walaupun belum mencapai satu haul, yaitu pada Muharram 1433 H.
Juga boleh seorang mengeluarkan zakatnya sekaligus untuk dua tahun.
Hal tersebut berdasarkan hadits tentang Al-‘Abbâs bin Abdul Muththalib yang mendahulukan pengeluaran zakatnya sekaligus untuk dua tahun.
Pembolehan hal ini adalah hikmah syariat yang sangat agung dan memiliki berbagai manfaat untuk kaum muslimin.
Seorang tidak boleh kembali dan membeli harta zakatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin Umar رضي الله عنه
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حَمَلَ عَلَى فَرَسٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ، فَوَجَدَهُ يُبَاعُ ، فَأَرَادَ أَنْ يَبْتَاعَهُ ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ ` فَقَالَ لاَ تَبْتَعْهُ ، وَلاَ تَعُدْ فِى صَدَقَتِكَ
“Sesungguhnya Umar bin Al-Khaththâb menginfaqkan seekor kuda di jalan Allah, kemudian beliau mendapatkan (kuda tersebut) dijual, beliau pun ingin (kembali) membelinya. (Umar) bertanya kepada Rasulullah `. Beliau bersabda, ‘Jangan engkau membelinya dan jangan engkau kembali shadaqahmu.’.”
Doa untuk orang-orang yang mengeluarkan zakatnya.
Terhadap siapa yang menerima zakat, baik petugas pemungut zakat atau mustahiq yang langsung menerimanya, agar mendoakan orang yang mengeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu,
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“… Serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [At-Taubah: 103]
Dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa رضي الله عنه, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ` إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. فَأَتَاهُ أَبِى أَبُو أَوْفَى بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِى أَوْفَى
“Adalah Rasulullah ` bila didatangi oleh suatu kaum dengan membawa shadaqah mereka, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berilah shalawat terhadap mereka.’ Kemudian ayahku, Abu Aufa datang kepada beliau membawa shadaqahnya. Beliau berdoa, ‘Ya Allah, berilah shalawat untuk keluarga Abu Aufa.’.”
Juga telah berlalu penyebutan doa Nabi ` terhadap orang yang membawa zakatnya berupa unta yang sangat indah,
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِى إِبِلِهِ
“Ya Allah, berkahilah dia dan (berkahilah) unta-untanya.”
BACA JUGA: Zakat Emas dan Perak
[1] Makna “pada air-air mereka” yaitu pada tempat-tempat hewan ternak meminum air.
[2] Tidak ada jalab artinya tidak pengantaran oleh pemilik kepada para petugas pemungut zakat.
[3] Tidak ada janab artinya bahwa janganlah para pemilik harta sengaja menjauhkan hartanya sehingga akan memberatkan para petugas untuk mengambilnya.