Penulis: Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi (Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZ Peduli Dakwah)
Zakat Hasil Bumi
Dalil Pensyariatan Zakat Hasil Bumi
Zakat terhadap kepemilikan hasil bumi wajib dikeluarkan berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى,
وَاٰتُوْا حَقَّهٗ يَوْمَ حَصَادِهٖۖ “Dan tunaikanlah hak (zakat)nya tatkala hasilnya dipanen (dengan menyedekahkan hasil itu kepada fakir miskin).” [Al-An’âm: 141]
Juga berdasarkan firman-Nya سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian.” [Al-Baqarah: 267]
Dalam hadits Abdullah bin Umar رضي الله عنهما, Rasulullah ` bersabda,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“Pada (hasil dari tanaman) yang mendapat aliran dari langit dan sungai, atau (tanaman itu) tumbuh dengan akarnya, (ada kewajiban zakat sebanyak) sepersepuluh, dan pada ( hasil dari tanaman) yang dialiri dengan penyiraman, (terdapat kewajiban zakat sebanyak) seperdua dari sepersepuluh.”
Juga dalam hadits Jabir رضي الله عنهما bahwa beliau mendengar Nabi ` bersabda,
فِيمَا سَقَتِ الأَنْهَارُ وَالْغَيْمُ الْعُشُورُ وَفِيمَا سُقِىَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“Pada (hasil dari) tanaman yang dialiri oleh sungai dan hujan, (ada kewajiban zakat sebanyak) sepersepuluh.”
Dalam hadits lain, dari Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه, beliau berkata,
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ ` إِلَى الْيَمَنِ وَأَمَرَنِى أَنْ آخُذَ مِمَّا سَقَتِ السَّمَاءُ أَوْ سُقِىَ بَعْلاً الْعُشْرَ وَمَا سُقِىَ بِالدَّوَالِى نِصْفَ الْعُشْرِ.
“Rasulullah ` mengutusku ke Yaman dan memerintahku untuk memungut (zakat sebesar) sepersepuluh dari (hasil dari tanaman) yang mendapat aliran dari langit atau (tanaman) yang menyerap air dari tanah, dan (memungut zakat sebesar) seperdua dari sepersepuluh terhadap (hasil dari tanaman) yang mendapat aliran dengan air timba.”
Sejumlah ulama menjelaskan kesepakatan bahwa terdapat kewajiban zakat pada gandum, jelay, kismis, dan kurma.
Syarat Kewajiban Zakat Hasil Bumi
Para ulama menjelaskan beberapa syarat untuk kewajiban zakat hasil bumi:
1. hasil bumi tersebut berupa biji-bijian atau buah-buahan.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd Al-Khudry رضي الله عنه bahwa Rasulullah ` bersabda,
لَيْسَ فِي حَبٍّ وَلاَ تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tiada (kewajiban) zakat pada (kepemilikan) biji-bijian dan kurma, kecuali setelah (biji-bijian dan kurma itu) mencapai lima wasaq, tiada pula (kewajiban) zakat pada (kepemilikan) kurang dari lima ekor unta, juga tiada (kewajiban) zakat pada (kepemilikan perak) yang kurang dari lima uqiyah.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
لَيْسَ فِى حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ
“Tidak ada (kewajiban) zakat pada (kepemilikan) biji-bijian dan buah-buahan, kecuali setelah (biji-bijian dan kurma itu) mencapai lima wasaq.” edit
2. hendaknya hasil bumi tersebut dari hal yang bisa ditakar dengan ukuran wasaq dan yang semisalnya.
Hal ini karena Nabi ` menjelaskan bahwa kewajiban zakat pada lima wasaq atau lebih, menunjukkan takaran dengan wasaq adalah hal yang menjadi patokan.
3. Hendaknya hasil bumi tersebut dari hal yang bisa disimpan.
Syarat ini karena seluruh jenis hasil bumi yang Rasulullah ` sebutkan dalam haditsnya adalah dari jenis yang bisa disimpan dan bisa ditakar. Seperti hadits,
إِنَّمَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ ` الزَّكَاةَ فِى هَذِهِ الأَرْبَعَةِ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah ` hanya menetapkan zakat pada empat ini: gandum, jelai, kismis dan kurma.”[1]
4. Hendak hasil bumi tersebut dari tanaman yang ditanam, tidak tumbuh dengan sendirinya.
Syarat ini berdasarkan hadits yang telah berlalu,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“Pada (tanaman) yang mendapat aliran dari langit dan sungai atau (tanaman itu) tumbuh dengan akarnya sepersepuluh, dan pada (tanaman) yang dialiri dengan penyiraman seperdua dari sepersepuluh.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa hasil bumi itu dari hal yang ditanam oleh pemiliknya.
Adapun yang tumbuh dengan sendirinya, tidak kewajiban zakat padanya.
5. hendaknya hasil bumi tersebut mencapai nishab, yaitu sebesar lima wasaq.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd yang telah berlalu. 1 wasaq adalah sejumlah 60 sha’ dan 1 sha’ adalah sejumlah 4 mud. 1 mud adalah sepenuh dua telapak tangan kebanyakan orang. Insya Allah, rincian ukuran sha’ akan lebih dijelaskan pada pembahasan zakat fitri.
Hitungan wasaq ini berlaku setelah bijian hasil bumi tersebut dibersihkan atau dikeringkan bila dalam bentuk buah-buahan.
Wallâhu A’lam.
Kadar Zakat Hasil Bumi yang Dikeluarkan
Hadits-hadits yang telah berlalu penyebutannya di awal pembahasan zakat hasil bumi, bisa disimpulkan bahwa ada tiga ketentuan dalam kadar zakat yang dikeluarkan dari hasil bumi;
1. mengeluarkan sepersepuluh (10 %)
Kadar ini berlaku untuk hasil bumi yang tumbuh tanpa membebani pemilik seperti mendapat aliran dari sungai, gunung dan bendungan. Demikian pula dari hasil bumi yang bisa hidup tanpa harus diberi aliran air secara khusus seperti tanaman yang akarnya bisa menyerap dan menyimpan air untuk pertumbuhannya.
2. mengeluarkan seperdua dari sepersepuluh (5 %) atau bisa juga disebut dengan seperdua puluh.
Ini pada hasil bumi yang perlu biaya perawatan berupa alat maupun kendaraan, seperti membutuhkan timba untuk menyirami dan hewan ternak.
3. Mengeluarkan 7,5 %
Hal ini bila hasil bumi itu berimbang antara ada biaya perawatan dan gratis. Adapun kalau biaya perawatan lebih mendominasi, zakatnya dihitung kepada 5 %. Demikian pula, bila gratisnya lebih mendominasi, zakatnya dihitung kepada 10 %.
Wallâhu A’lam.
Beberapa Ketentuan dan Pembahasan Lain
Pertama, menaksir hasil panen.
Pemerintah yang memungut zakat boleh mengutus orang-orang yang ahli dalam menaksir hasil panen agar terwujud kemudahan bagi para pemilik tanaman.
Syariat ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil, di antaranya adalah hadits Abu Humaid As-Sâ’idy tentang kebun perempuan yang kemudian ditaksir oleh Rasulullah ` sejumlah 10 wasaq. Rasulullah ` berlalu dan kembali lagi setelahnya kemudian beliau bertanya, “Berapa jumlah hasil kebunmu?” Perempuan tersebut menjawab, “Sebanyak 10 wasaq, taksiran Rasulullah `.”
Hasil panen yang ditaksir adalah tanaman yang sudah jelas keberhasilannya dengan buahnya sudah mulai matang atau semisalnya dengannya. Hal ini berdasarkan penafsiran Nabi ` terhadap hasil bumi yang boleh diperjual belikan. Beliau bersabda,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ` نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ
“Sesungguhnya Rasulullah melarang dari menjual buah hingga tampak kebaikannya, beliau melarang si penjual dan si pembeli.”
Kalimat “hingga tampak kebaikannya” dijelaskan oleh Ibnu Umar c bahwa sudah tidak dikhawatirkan terkena hama lagi. Dalam hadits lain, ditafsirkan hingga buahnya sudah memerah atau menguning.
Kedua, zakat terhadap hasil bumi di atas tanah sewa.
Secara umum, zakat berlaku untuk seluruh hasil bumi yang telah memenuhi syarat kewajiban zakat, apakah hasil bumi itu tumbuh di atas tanah kepemilikan pribadi atau di atas tanah sewaan. Kewajiban zakat tersebut ditujukan kepada pemilik hasil bumi, bukan kepada pemilik tanah. Hal ini karena nash-nash tentang kewajiban zakat disandarkan kepada hasil bumi itu sendiri. Wallâhu A’lam.
Ketiga, zakat madu.
Terdapat silang pendapat di kalangan ulama, apakah ada zakat pada madu atau tidak? Apakah pada seluruh madu atau hanya madu di tanah terlindung?
Yang lebih kuat dalam hal ini bahwa tidak ada zakat pada madu kecuali untuk diperdagangkan, karena tidak hadits yang kuat menunjukkan syariat zakat pada madu. Imam Al-Bukhâry t berkata, “… Dan tidak ada tentang zakat madu suatu (hadits) yang shahih.” Ibnul Mundzir t berkata, “Tidak dalah bab (zakat madu) suatu (hadits) yang kuat.”
Pendapat bahwa tidak zakat pada madu adalah pendapat kebanyakan ulama. Pendapat ini pula dikuatkan oleh Imam Al-Bukhâry, Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan selainnya. Wallâhu A’lam.
Keempat, Ar-rikâz.
Telah berlalu keterangan bahwa ar-rikâz adalah harta terpendam dari temuan peninggalan masa jahiliyah. Mengeahuinya sebagai peninggalan masa jahiliyah dengan melihat tanda dan indikasi terhadap barang tersebut. Jika tidak tampak padanya tanda peninggalan masa jahiliyah, harta tersebut dianggap barang temuan, dan pembahasannya di penjelasan tentang hukum-hukum luqathah ‘barang temuan’, bukan di pembahasan ar-rikâz.
Ar-rikâz ini adalah harta yang dikeluarkan sebanyak seperlima tatkala ditemukan, baik barang ditemukan itu sedikit maupun banyak. Tidak disyaratkan nishab tertentu pada ar-rikâz ini.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi `,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“… Dan pada ar-rikâz seperlima.”
Para ulama berbeda pendapat, apakah kewajiban seperlima yang dikeluarkan dari Ar-Rikâz ini dianggap sebagai zakat atau dianggap sebagai fai`.
Bagi mereka yang menganggap bahwa Ar-Rikâz adalah harta zakat, akan mengarah kepada beberapa kesimpulan fiqih, di antaranya bahwa pada sebagian harta ada zakat yang dikeluarkan sebanyak seperlima (20%), dan kadar ini adalah jumlah yang lebih besar dari kadar zakat hasil bumi (hanya 5%, 7/5 %, 10%) dan zakat emas, perak, dan perdagangan (hanya 2.5 %), juga akan disimpulkan bahwa penyalurannya adalah sama dengan penyaluran harta zakat yang lainnya.
Bagi mereka yang menganggap bahwa ar-rikâz terhitung sebagai fai`, pembahasan ar-rikâz bukanlah dipembahasan zakat dan penyalurannya adalah pada penyaluran harta fai`. Wallâhu A’lam.
BACA JUGA: Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Kelima, zakat hasil tambang.
Hasil tambang adalah segala hal berharga yang dihasilkan dari tanah dari selain jenis tanah dan bukan tanaman seperti emas, perak, besi, batu bara, batu mulia, bahan bakar, nikel,dan selainnya.
Hasil tambang dari emas dan perak tentunya dipermasalahkan, tetapi menjadi letak silang pendapat di kalangan ulama adalah hasil tambang dari selain emas dan perak.
Pendapat yang lebih dekat adalah ada kewajiban zakat pada hasil tambang. Hal tersebut berdasarkan sejumlah nash-nash umum, seperti firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian.” [Al-Baqarah: 267]
Nishab dari zakat hasil tambang adalah sama denga nishab emas dan perak, demikian pula kadar zakat yang dikeluarkan.
Para ulama berbeda pendapat, apakah disyaratkan pada hasil tambang harus dimiliki selama satu haul?
Yang lebih kuat bahwa disyaratkan pada kepemilikan satu haul berdasarkan keumuman hadits,
لاَ زَكَاةَ فِى مَالٍ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tiada zakat pada sebuah harta, kecuali setelah harta itu telah dimiliki selama satu haul.”
Keenam, zakat ar-rikâz dan hasil tambang ditinjau dari kepemilikan.
Pembahasan zakat pada ar-rikâz dan hasil tambang adalah hal yang berkaitan dengan kepemilikan pribadi. Adapun kalau yang menemukan ar-rikaz atau yang memiliki tambang adalah pemerintah, tidak kewajiban zakat terhadapnya, karena apa yang pemerintah miliki diperuntukkan guna kemashlahatan umum, sedang hal yang berkaitan dengan mashlahat umum tidak zakat padanya. Wallâhu A’lam.
Ketujuh, mengeluarkan zakat hasil dengan bumi bukan dengan hasil bumi, tapi dengan uang kontan.
Dalam keputusan Majelis Hai`ah Kibar Ulama Arab Saudi No. 98 pada tanggal 6/11/1402 H, kumpulan ulama besar Arab Saudi bersepakat menjelaskan sebagai berikut,
“Pada asalnya, semampu mungkin, zakat dikeluarkan (jenis) harta itu sendiri sebagaimana nash-nash dari Rasulullah ` datang (menjelaskan) rincian harta-harta berlaku kewajiban zakat padanya, dan penjelasan kadar kewajiban (zakat) pada (harta-harta itu).”
Sebagaimana kebanyakan anggota memutuskan bahwa, “Boleh menyerahkan harga zakat apabila pemilik berat untuk mengeluarkan zakatnya dari jenis harta itu sendiri, dan tidak bahaya dalam hal tersebut terhadap kaum fakir. Demikian pula boleh bagi orang yang wajib terhadapnya zakat unta berupa kambing, sedang dia tidak memiliki kambing dan berat baginya untuk mencarinya. Demikian pula kalau dari kemashlahatan para fakir mengharuskan untuk mengeluarkan dengan harganya, seperti (kaum fakir) yang berat untuk mengambil zakat dari jenis harta itu sendiri karena mereka berada pada tempat yang sulit bagi mereka untuk mengambilnya. Juga seperti petani yang menjual seluruh buah (panen)nya, dia boleh untuk mengeluarkan zakat dari harganya.”
BACA JUGA: Waktu Mengeluarkan Zakat Fitri