Penulis: Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi (Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZ Peduli Dakwah)
Setelah kita memahami akan kewajiban zakat pada harta, harus diketahui pula bahwa, dalam pewajiban zakat tersebut, terdapat lima syarat yang harus terpenuhi. Rincian lima syarat tersebut adalah sebagai berikut.
5 Syarat Wajib Zakat Adalah:
1. Keislaman
Yang wajib mengeluarkan zakat adalah seorang muslim sebab zakat tidak diambil juga tidak diterima dari orang kafir, baik kafir murtad maupun kafir asli. Hal ini karena zakat adalah penyuci -sebagaimana kandungan ayat ke-103 surah At-Taubah- dan tidak akan menyucikan orang kafir.
Allah Jalla Jalâluhu berfirman pula,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
“Dan tiada yang menghalangi mereka agar nafkah-nafkah mereka diterima dari mereka, kecuali karena mereka kafir terhadap Allah dan rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas, tidak pula menafkahkan (harta) mereka, kecuali dengan rasa enggan.” [At-Taubah: 54]
Namun, perlu diketahui bahwa, walaupun tidak wajib mengeluarkan zakat, orang kafir tetap dihisab pada hari kiamat. Hal ini merupakan salah satu kehinaan terhadap mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla menghikayatkan keadaan orang-orang mujrim yang disiksa dalam api neraka,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ. وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ. وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ
“ ‘Apa sebab yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, tidak pula kami memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan hal yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.’.” [Al-Muddatstsir: 42-45]
2. Al-Hurriyah ‘Kebebasan, Kemerdekaan, bukan Budak’
Zakat tidak diwajibkan terhadap seorang budak sebab seorang budak merupakan harta pemilik budak sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa yang menjual seorang budak yang memiliki harta, harta budak itu adalah miliknya, kecuali bila si pembeli mempersyaratkan (bahwa harta itu menjadi miliknya).”
Karena seorang budak tidak memiliki harta, tentu dia tidak wajib mengeluarkan zakat.
3.Harta Telah Mencapai Nishab
Nishab adalah kadar yang ditentukan oleh syariat yang menjadi ukuran pewajiban zakat, bahwa zakat tidak diwajibkan bila harta tidak mencapai kadar tersebut. Persyaratan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima wasaq (dari hasil bumi), tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima ekor unta, dan tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima uqîyah (dari perak).”
Insya Allah, akan datang rincian lebih lengkap tentang nishab setiap jenis harta yang terkena kewajiban zakat.
4. Adanya Kepemilikan Harta Secara Tetap
Maksudnya adalah bahwa harta tersebut sudah dimiliki secara tetap dan sempurna, yang kepemilikan seseorang terhadap harta tersebut tidak akan gugur atau hilang.
Adapun seperti buah-buahan atau biji-bijian yang masih berada di pohonnya, tidak ada kewajiban zakat padanya, kecuali tanaman itu dipanen dan disimpan di tempat penyimpanannya, karena mungkin saja tanaman tersebut tertimpa musibah atau kerusakan sebelum dipanen.
Juga seperti orang yang menyewakan rumahnya, ongkos sewa yang dia pegang belum dianggap berada dalam kepemilikan tetapnya karena mungkin saja rumah yang disewakan itu roboh atau rusak dan ongkos sewa harus dikembalikan.
Contoh lain adalah seperti jatah hasil keuntungan yang belum dibagi di antara orang-orang yang berserikat dalam sebuah usaha. Walaupun jumlah keuntungan yang akan diterima telah diprediksi, sepanjang belum dibagi, harta tersebut belum masuk ke dalam kepemilikan tetapnya.
Pensyaratan ini berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban zakat pada harta, sedang harta yang terkena kewajiban zakat disandarkan kepada pemiliknya.
5. Harta Telah Dimiliki Selama Satu Haul
Satu haul adalah satu tahun. Penanggalan yang dijadikan sebagai ukuran adalah Hijriah. Hal ini merupakan syarat sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
لاَ زَكَاةَ فِى مَالٍ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tiada zakat pada suatu harta, kecuali setelah harta itu telah dimiliki selama satu haul.”
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki harta berupa tabungan sebanyak Rp. 100 juta. Tabungan tersebut dia miliki hingga Muharram 1433 H. Maka, orang tersebut telah dikatakan memiliki harta selama satu haul.
Pengecualian Seputar Satu Haul
Pensyaratan seputar satu haul berlaku pada seluruh jenis harta yang yang terkena kewajiban zakat. Akan tetapi, para ulama memperkecualikan beberapa jenis:
1. Zakat Hasil Bumi
Hal ini karena zakat hasil bumi dikeluarkan tatkala hasil bumi tersebut dipanen atau dipetik, tanpa perlu menunggu perputaran haul, berdasarkan firman Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى
وَءَاتُوا۟ حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ
“Dan tunaikanlah hak (zakat)nya tatkala hasilnya dipanen (dengan menyedekahkan hasil itu kepada fakir miskin).” [Al-An’âm: 141]
Dalam ayat di atas, Allah Y memerintah secara mutlak untuk mengeluarkan zakat tersebut ketika hasil bumi itu dipanen, tanpa ada penyebutan haul dan semisalnya.
2. Hasil Pengembangbiakan Hewan Ternak yang Telah Mencapai Nishab
Apabila hewan ternak (yang telah mencapai nishab) memiliki keturunan, perhitungan haul keturunan itu diikutkan kepada perhitungan haul induknya.
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki 40 ekor kambing. Kemudian, seluruh kambingnya telah melahirkan 2 ekor, kecuali seekor kambing yang melahirkan 3 ekor. Sehingga, pada Muharram 1433 H, orang tersebut telah memiliki 121 ekor kambing (yang terdiri dari 40 ekor induk dan 81 ekor anak kambing). Oleh karena itu, orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sejumlah 2 ekor kambing karena telah memiliki kambing sebanyak 121 ekor (sebab perhitungan haul 81 ekor anak kambing diikutkan kepada perhitungan haul 40 ekor induk kambing), bukan mengeluarkan zakat sejumlah 1 ekor kambing (karena menganggap haul 81 ekor anak kambing belum cukup).
Nanti akan dijelaskan bahwa seseorang wajib mengeluarkan zakat sejumlah 1 ekor kambing bila memiliki 40-120 ekor kambing, serta mengeluarkan zakat sebanyak 2 ekor kambing jika mempunyai 121-200 ekor kambing.
Selain itu, hasil pengembangbiakan hewan ternak juga diikutkan ke dalam perhitungan nishab. Demikian menurut pendapat yang lebih kuat.
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki 30 ekor kambing. Kemudian, hingga Syawal 1432 H, 10 ekor lahir dari kambing-kambing itu sehingga berjumlah 40 ekor. Maka, haul hewan tersebut dihitung bukan dari Muharram, melainkan dihitung dari Syawal.
3. Hasil Keuntungan dari Harta Perdagangan yang Telah Mencapai Nishab
Apabila seseorang memiliki modal perdagangan yang telah mencapai nishab, keuntungan dari perdagangan tersebut dihitung bersama haul modal asalnya.
Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memulai suatu perniagaan dengan modal sebesar Rp 50 Juta. Hingga Rajab 1432 H, dia memeroleh keuntungan sebanyak Rp 50 juta. Memasuki Syawal 1432 H, dia memeroleh lagi keuntungan sejumlah Rp 50 juta. Mak, pada Muharram 1433 H, total harta perdagangan yang harus dikeluarkan zakatnya adalah Rp 150 juta. Demikianlah karena, walaupun modal asal berjumlah Rp 50 juta saat permulaan haul, keuntungan dia sejumlah Rp 100 juta tersebut tidak diharuskan untuk dihitung dalam satu haul tersendiri, tetapi keuntungan tersebut dihitung bersama haul modal asalnya.
Dalil bahwa hasil pengembangbiakan hewan ternak dan keuntungan perdagangan (yang keduanya telah mencapai nishab) dihitung kepada haul asalnya adalah kaidah “Cabang atau pengikut dikembalikan atau diikutkan kepada asalnya”.
Kaidah tersebut disimpulkan dari sejumlah dalil. Uraiannya belum sempat dijelaskan pada kesempatan ini.
4. Ar-Rikâz
Harta terpendam dari temuan peninggalan masa jahiliyah disebut dengan nama ar-rikâz. Ar-rikâz ini adalah harta yang dikeluarkan sebanyak seperlima tatkala ditemukan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi `,
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“… Dan pada ar-rikâz, (zakat dikeluarkan sebanyak) seperlima.”
Menunjukkan bahwa barang siapa yang menemukan ar-rikâz, dia wajib mengeluarkan seperlima bagian dari ar-rikâz itu, tanpa harus menunggu satu haul.
Akan datang, pembahasan bahwa ada silang pendapat di kalangan ulama, apakah seperlima yang dikeluarkan terhitung sebagai zakat atau terhitung sebagai fai`?
Tentunya, penyebutan bahwa ar-rikâz diperkecualikan dari perhitungan haul dibangun di atas pendapat bahwa seperlima yang dikeluarkan dari ar-rikâz adalah zakat.
5. Hasil Tambang
Hasil tambang dianggap sama dengan ar-rikâz, dalam hal pengeluaran zakat secara segera, oleh kalangan ulama yang memandang bahwa ada kewajiban zakat pada hasil tambang ini. Insya Allah, akan diterangkan tentang silang pendapat ulama seputar zakat hasil tambang.